DISKRIMINASI GENDER TERHADAP PEREMPUAN DALAM DUNIA PEKERJAAN


Nama  : Najla Salwa Putri Miftana

NIM     : 215120107111022

Mata Kuliah    : Kesenjangan dan Eksklusi Sosial

            Budaya patriarki di Indonesia merupakan bukan persoalan baru yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Pandangan yang mempercayai bahwa laki-laki memiliki kuasa dalam berbagai aspek tentunya akan berdampak pada hak dan bebasnya ruang gerak para kaum hawa. Anggapan di atas akan melahirkan isu ketidaksetaraan gender yang menimbulkan bentuk-bentuk diskriminasi pada perempuan. Kepemilikan privilege dan kekuasaan oleh laki-laki pada budaya patriarki membuat mereka dengan mudah menindas perempuan dan melakukan diskriminasi. Privilege yang dimiliki laki-laki ini terlihat dalam berbagai sektor publik, seperti kedudukan status sosial. Keuntungan ini membuat seolah-olah laki-laki memiliki kekuasaan yang mendominasi berbagai sektor publik. Sehingga, gerak perempuan di masyarakat masih terbatas dan memiliki kesulitan dalam pemenuhan hak-hak yang pantas diperoleh perempuan (Krisnani, 2021).

R.A Kartini, merupakan salah satu tokoh yang namanya sangat familiar dan melekat di telinga masyarakat atas perjuangan mengenai emansipasi wanita serta pahlawan Nasional Indonesia. Ia memperjuangkan dengan begitu keras akan kesetaraan bagi wanita di Indonesia karena pada zaman itu stigma terhadap seorang perempuan dapat dikatakan terbilang kurang dihargai. Perjuangannya tidak berhenti di era Kartini ketika ia masih hidup saja, dampak dari perjuangan yang ia lakukan masih terasa di era revolusi industri 4.0. Berkat dari usaha kerja keras Kartini, telah lahir generasi-generasi selanjutnya yang dapat berfikir dengan open minded, rasional, dan mampu untuk membedakan yang benar dan yang salah. 

            Akan tetapi masih terdapat banyak masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari mengenai diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu contoh dari permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan adalah diskriminasi perempuan dalam bidang pekerjaan. Menurut International Labour Organization (ILO), diskriminasi di pasar tenaga kerja didefinisikan sebagai “pembedaan, pengecualian, atau preferensi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, atau asal usul sosial, yang memiliki efek meniadakan kesamaan kesempatan dan perlakuan di pekerjaan” (ILO, 2003, hal.15).Kaum perempuan pada umumnya tersisih dari peranan produktif secara ekonomi, dan produksi lebih didominasi oleh laki-laki. Pada kehidupan bermasyarakat,terdapat berkembangnya bentuk pola domestik dan publik. Lingkungan publik didominasi oleh laki-laki yang mencakup ke sektor ekonomi, politik, kehidupan agama, pendidikan, dan kegiatan lain di luar tempat kediaman. Lingkup domestic didominasi oleh perempuan seperti urusan masak memasak, mencuci, dan mengurus anak (Fathorrahman, 2009).

            Menurut penulis, persoalan di atas bukanlah suatu hal yang baru karena pola pemikiran mengenai tugas perempuan hanya mengurus pekerjaan di rumah saja sudah ada sejak zaman dahulu. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki terdapat pada beberapa aspek misalnya dari fungsi reproduksinya. Akan tetapi, perbedaan tersebut bertransformasi menjadi sebuah indikator perempuan dan laki-laki berperilaku akibat pengaruh budaya patriarki. Ujung tombaknya terlihat pada pembatasan hak, akses, partisipasi dan kontrol yang membentuk tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban pada perempuan (Puspitawati, 2013). Maka dari itu, dengan adanya persepsi terhadap peran gender yang mutlak menjadikan lahirnya bentuk ketidaksetaraan (Krisnani, 2021).

            Ketimpangan utamanya menimpa kaum perempuan, diantaranya pada pandangan yang melihat perempuan, diantaranya pada pandangan yang melihat perempuan dilahirkan melakukan pekerjaan yang terbatas dan memiliki status yang lebih rendah (Wibowo, 2011). Seperti yang telah penulis singgung di atas, dengan adanya pengelompokkan mengenai pekerjaan pada sektor domestik dan publik hanya akan mempersempit akses atau ruang gerak bagi perempuan dalam melakukan suatu pekerjaan. Bentuk dari diskriminasi pada perempuan di bidang pekerjaan tentunya salah satu bentuk dari labeling. Labeling yang terjadi biasanya bersifat negatif seperti perempuan adalah makhluk yang lemah, sensitive, sering menangis, dan yang lainnya (Yusalia, 2014).

            Perempuan juga mengalami marginalisasi, yakni suatu keadaan di mana mereka dipinggirkan sehingga timbulah suatu batas bagi para kaum perempuan untuk mengekspresikan, mengeksplorasi diri, dan mengeluarkan pendapat mereka. Terjadinya marginalisasi perempuan dalam pekerjaan adalah salah satu faktor-faktor penyebab diskriminasi dalam pekerjaan. Sosiolog Inggris, Alison Scott dalam Saptari & Holzner (Khotimah, 2009) menyatakan bahwa terdapat empat bentuk dari marginalisasi; proses pengucilan perempuan (dari pekerjaan atau jenis kerja lainnya), proses pergeseran perempuan dari pasar kerja (dalam bentuk pemberian pekerjaan yang tidak stabil, upah rendah, dinilai tidak atau kurang terampil dalam suatu sektor), proses feminisasi yaitu perempuan menjadi sentral pada sektor pekerjaan tertentu atau separasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, dan yang terakhir merupakan proses kesenjangan ekonomi akibat perbedaan upah yang drastis.

            Terdapat faktor lainnya yakni diskriminasi perempuan dalam bentuk kekerasan. Beberapa asumsi penyebab timbulnya kekerasan yakni hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban seperti kurang atau tidak adanya perhatian terhadap perempuan dari hukum yang ada; ketentuan relasi gender yang menetapkan suami sebagai kepala rumah tangga menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 31 ayat (3)) sehingga menetapkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dalam keluarga (Kania, 2015).

Menempatkan perempuan pada posisi yang berada di bawah laki-laki dan menganggap para kaum hawa untuk berkecimpung dalamduniapublik merupakan salah satu bentukkungkungan terhadap perempuan. Pandangan-pandangan terkait perempuan yang timpang saat ini masih banyak sekali dijumpai, terutama dalam  masyarakat Jawa Budaya lokal (Rahmadanik, 2020). Misalnya para perempuan yang berada di desa, mayoritas masyarakat di pedesaan tidak begitu fokus dalam memikirkan tingkat pendidikan ataupun pekerjaan apa yang dimiliki oleh seorang perempuan. Kalaupun perempuan tersebut telah meraih pendidikan dan memiliki pekerjaan yang mapan tidak menutup kemungkinan akan tetap dianggap atau dinilai biasa saja dan disarankan agar lebih berkonsentrasi dalam mengurus keluarga. Sebuah pepatah yang cukup terkenal sampai sekarang yang banyak orang tidak menyadari bahwa artinya termasuk ke dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan yakni bahwa perempuan memiliki tugas 3M yaitu macak, manak, masak. Jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti, perempuan memiliki tugas yakitu berdandan, melahirkan dan mengurus anak, serta memasak.

            Selain pepatah di atas, ada juga istilah yang cukup terkenal pada masyarakat Jawa yakni “konco wingking” atau yang memiliki arti teman belakang yang lain dan tak bukan adalah seorang istri. Dengan adanya pengkotak-kotakan pekerjaan antara wanita dan laki-laki hanya akan membatasi berkembangnya seorang perempuan. Batasan wilayah kerjaperempuan dalam masyarakat Jawa sangat sempit, sejak masih kecil, anak perempuantelah ditancapkan dengan tugas-tugas domestik, meliputi sumur, dapur dankasur. Sambil menanti jodoh, gadis Jawa biasanyadiajari berdandan, memasak dan kegiatan yang berhubungan dengan melayani suami (Rahmadanik, 2020).

            Faktor penyebab lainnya mengapa kasus diskriminasi perempuan pada dunia pekerjaan dapat dikatakan langgeng yakni konstruksi gender. Garis besar dari konstruksi gender adalah perbedaan peran antara laki-laki dengan perempuan yang didasarkan oleh gender. Dapat dilihat dari contoh adanya anggapan perempuan lebih atau hanya pantas berada di ruang domestik sebagai IRT atau Ibu Rumah Tangga sedangkan laki-laki yang bertugas untuk mencari nafkah bagi istri atau keluarganya. Padahal jika diperhatikan lebih teliti, pekerjaan ibu rumah tangga tidaklah mudah. Berbeda dengan pekerjaan di kantor atau di tempat bekerja lainnya, yakni terdapat jam masuk dan pulang bagi para pekerjanya. Pekerjaan ibu rumah tangga tidak memiliki jam operasional seperti itu karena mereka harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya, seperti memasak, mencuci, menyapu, mengepel, dan yang lainnya.

            Pada era yang modern seperti sekarang, semakin banyak perempuan yang memilih untuk tetap memiliki pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang mapan. “wanita karir” sebutannya, yang berarti perempuan yang berkencimpung dalam kegiatan profesi seperti bidang usaha, perkantoran, dan sebagainya yang menjanjikan untuk mencapai tujuan tertentu (Muri'ah, 2011). Pemikiran yang terbelengu seperti wanita hanya memiliki tugas 3M sudah banyak dihiraukan. Bukan laki-laki saja yang sekarang bekerja pada jenis pekerjaan di sektor publik, tetapi perempuan pun juga bisa bekerja dalam pekerjaan di sektor publik. Batasan wilayah kerjaperempuan dalam masyarakat Jawa sangat sempit, sejak masih kecil, anak perempuantelah ditancapkan dengan tugas-tugasdomestik, meliputi sumur, dapur dankasur. Sambil menanti jodoh, gadis Jawa biasanyadiajari berdandan, memasak dan kegiatanyang berhubungan dengan melayani suami (Puspita, 2020).

            Ada beberapa perempuan karier yang mengabdikan dirinya untuk berani berkomitmen seperti para perempuan pekerja professional yang memiliki fokus pada pekerjaan dan kariernya terlebih dahulu baru keluarga dan ada pula yang sebaliknya yakni perempuan karier yang termasuk ke dalam para  pekerja professional juga dan telah berkomitmen namun menaruh prioritasnya pada keluarga dahulu baru fokus pada kariernya. Perempuan yang bekerja menjadi pekerja rumah tangga dan tidak berbayar memberi peran signifikan terhadap rendahnya TPAK perempuan, karena mereka keluar dari angkatan kerja dan tidak termasuk dalam pengukuran TPAK (Schifman, 2019).

            Bentuk diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan dalam bidang pekerjaan masih terbilang banyak. Pertama, mengenai pembagian upah. Kesenjangan upah antara gaji laki-laki dan perempuan masih sering ditemui di berbagai jenis pekerjaan yang ada. Timbulnya perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki dikarenakan perempuan dianggap kurang berkontribusi dalam pekerjaan yang mereka kerjaan dan adanya pandangan bahwa perempuan menempati posisi yang bernilai lebih rendah dibandingkan laki-laki. Masalah tersebut menjadi salah satu tantangan bagi para kaum hawa dalam bidang pekerjaan.

            Kerap kali ditemukan juga tindak pelecehan seksual di tempat kerja terhadap perempuan. Tempat kerja merupakan salah satu tempat yang paling potensial bagi terjadinya pelecehan seksual (Allgeier, 1990). Ini terbukti dengan adanya data-data yang sebagian dijelaskan oleh (Magley, 1999) misalnya di Amerika Serikat para pekerja perempuan yang telah menjadi korban dari kekerasan seksual di tempat mereka bekerja sekitar 40-50 persen. Sebuah studi kasus yang dilakukan di Propinsi Yogyakarta yang tepatnya di sebuah perusahaan telah ditemukan bahwa lebih dari 60 persen bahwa karyawan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat mereka bekerja (Setyowati, 1999).

            Bentuk dari pelecehan seksual tidak harus dalam upaya pemerkosaan saja, bentuk penggodaan secara fisik seperti menatap bagian tubuh perempuan tertentu seperti pada bagia paha, pinggul, payudara, dan yang lainnya juga termasuk pelecehan seksual. Selain itu, meraba, meremas, melirik dengan penuh godaan, mencium, ditambah lagi ketika suasana dan situasi dapat terbilang mendukung seperti di lift, koridor, dan ruang tertutup (ruang kerja) juga mendorong terjadinya tindak pelecehan seksual pada perempuan.

            Contoh lain dari bentuk diskriminasi perempuan pada bidang pekerjaan yakni perempuan lebih jarang mendapatkan promosi dibandingkan dengan laki-laki. Tidak memandang setinggi apa pendidikan yang dimiliki oleh seorang perempuan, pada kenyataannya laki-laki lebih sering dipromosikan dibandingkan perempuan di tempat bekerja.

            Adapun cara untuk mengatasi dan menangani persoalan diskriminasi perempuan di tempat kerja. Solusi dari bidang eksternal suatu tempat kerja yang pertama adalah tempat kerja memiliki peraturan yang saling terbuka dengan kelompoknya. Kedua, para pemimpin di tempat bekerja tersebut harus mampu untuk dijadikan figur yang dapat dicontoh oleh para anggotanya. Ketiga, membuat aturan komprehensif demi mencegah terjadinya kekerasan seksual di tempat kerja. Dengan munculnya rasa aman bagi apara pekerja akan mendukung agar tidak terjadinya diskriminasi gender yang  berasal dari perwujudan peraturan kekerasan seksual di lingkungan mereka bekerja. Selain itu, sosialisasi mengenai kesetaraan gender dan diskriminasi gender perlu dilaksanakan guna menaikkan kesadaran bagi para masyarakat agar tidak terjadi lagi di lingkungan bermasyarakat.

            Sedangkan pada solusi internal atau yang berasal dari dalam diri kita masing-masing yang pertama adalah jangan biarkan pemikiran kita terbelengu dari pola pikir masyarakat yang menyatakan bahwa tugas ddari perempuan hanyalah di rumah saja. Atau seperti yang telah penulis singgung di atas, pada masyarakat Jawa terkenal sebuah pepatah yakni tugas wanita adalah 3M (macak, masak, dan manak). Jika kita memiliki keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan pekerjaan yang layak maka lakukanlah, jangan takut untuk mencoba sesuatu yang memiliki dampak baik bagi diri kita. Kedua, jangan menganggap remeh persoalan mengenai diskriminasi. Beragam jenis dan bentuk dari diskriminasi yang terjadi di Indonesia khususnya bagi para perempuan. Banyak orang yang melakukan bentuk diskriminasi pada perempuan seperti cat calling atau yang berarti menggoda perempuan dengan cara memanggil, bersiul, dan yang lainnya.

             Jika pemikiran “sempit” masih kita temui di lingkungan terdekat kita seperti dalam lingkup keluarga, dapat diatasi dengan cara memberikan pengertian mengapa pendidikan itu penting bagi kita. Tidak hanya itu, bagi perempuan yang memiliki pekerjaan yang mapan bukan berarti mereka tidak lagi membutuhkan sosok laki-laki yang nantinya akan saling membantu dibidang perekonomian. tak hanya dibidang ekonomi, sosok lelaki dalam keluarga juga bisa menjadi support system seorang perempuan karena pada dasarnya kita sama-sama manusia yang saling membutuhkan. Contoh lain selain lingkup keluarga adalah lingkup pekerjaan, Dimana perempuan dan laki-laki memiliki kelebihan masing-masing yang saling melengkapi. Perbedaan kemampuan antar gender ini yang membuat kita menjadi “ Manusia”. Solusi terbaik dari permasalahan ini adalah untuk menurunkan ego antara kedua gender yang beranggapan lebih baik satu sama lain, kita harus sadar bahwa manusia tidak ada yang sempurna apapun gendernya karena kita memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.



DAFTAR PUSTAKA

Allgeier, A. R. (1990). Sexual Interactions: Study Gde. Lexington: DC Heath; 3rd edition .

Fathorrahman, A. R. (2009). DISKRIMINASI GENDER TERHADAP PEREMPUAN DALAM SEKTOR PEKERJAAN. Jurnal Studi Islam, Gender dan Anak.

ILO.(2003).Timeforequalityatwork:GlobalReportunderthe Follow-up to the ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work. International Labour Conference 91st Session 2003. Geneva, Switzerland: International Labour Office. Diakses 4 April 2018

Kania, D. (2015). HAK ASASI PEREMPUAN DALAMPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Jurnal Konstitusi.

Khotimah, K. (2009). DISKRIMINASI GENDER TERHADAP PEREMPUAN DALAM SEKTOR PEKERJAAN. Jurnal Studi Islam, Gender dan Anak.

Krisnani, S. A. (2021). PERILAKU DISKRIMINATIF PADA PEREMPUAN AKIBAT KUATNYA BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONFLIK. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, Halaman 1-13.--

Magley, V. J. (1999). Outcomes of Self-labeling sexual harassment. Journal of Applied Psychology, 390-402.

Muri'ah, S. (2011). Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Perempuan Karier. Semarang: Rasail Media Group.

Puspita, A. A. (2020). EKSISTENSI PEREMPUAN BEKERJA . IR- Perpustakaan Universitas Airlangga.

Puspitawati, H. (2013). KONSEP, TEORI DAN ANALISIS GENDER.

Rahmadanik, I. L. (2020). POLEMIK DALAM KARIR PEREMPUAN INDONESIA. Jurnal Komunikasi dan Kajian Media.

Schifman, L. A. (2019). Gender Wage Gap: Causes, Impacts, and Ways to Close the Gap. Amerika Serikat.

Setyowati, S. D. (1999). Pelecehan Tenaga Kerja Perempuan. Yogyakarta: Ford Foundation & Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Wibowo, D. E. (2011). PERAN GANDA PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER. Jurnal Kajian Gender.

Yusalia, H. (2014). PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM TANTANGAN BUDAYA PATRIARKI. Wardah.

 

Komentar